Tingkat korupsi suatu negara dapat diukur dari Indek Persepsi Korupsi (IPK). Data tahun 2009 menunjukan bahwa Indonesia berada pada papan bawah dengan dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) 2,8. Skala IPK mulai dari 1 sampai 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Dari data yang diperoleh dari Transparency International Corruption Perception Index 2009 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara lainnya pada urutan 111 seperti Algeria, Djibouti, Egypt, Kiribati, Mali, Sao Tome and Principe, Solomon Islands dan Togo. Angka ini menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang belum lepas dari persoalan korupsi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Korupsi di Indonesia sudah membudaya tanpa proses peradilan yang terbuka dan kredibel. Semua pihak yang terkait dengan sebuah kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar oleh para pejabat negeri ini sampai kepada yang paling kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan. mulai dari proses penyuapan berjumlah puluhan ribu rupiah yang biasa terlihat di jalanan sampai pada kasus menggelapkan uang negara dengan jumlah triliunan.
Pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas lagi. Perbuatan seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelican dan slain sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain. Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan sekalipun. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang sekolah pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah.
Pada saat ini, ada indikasi terjadinya sikap apatis masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat seakan telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dari masyarakat terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.
Masyarakat harus sadar bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut, pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi kepada angka kriminalitas.
Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Namun, banyak pihak yang menyangsikan KPK akan mampu memberantas korupsi. Pada awal pendiriannya, banyak pihak yang meragukan sepak terjang KPK. Hal ini cukup beralasan, karena KPK sebagai sebuah lembaga independen beranggotakan orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. Beberapa kalangan yang beranggapan bahwa KPK akan tebang pilih dalam menjalankan tugasnya sebagai pengadil para koruptor. Terlepas dari itu, KPK tetap menjadi tumpuan harapan bagi bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi dan memenjarakan para koruptor yang terlibat.
Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang mengagumkan ditengah dahaga akan pemberantasan korupsi bangsa ini. KPK membuat gebrakan dengan menjadikan beberapa gubernur sebagai tersangka. Disamping itu, KPK juga telah menjadikan beberapa Bupati sebagai tersangka kasus korupsi. Anggota DPR, Menteri, Dirjen dan berbagai pejabat negara lainnya. Walaupun esensi dari pemberantasan korupsi sebenarnya bukan siapa yang telah diproses secara hukum, melainkan kesungguhan hati untuk terus berupaya menciptakan semangat anti korupsi di setiap elemen kehidupan.
Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi tersebut, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan.
Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa.
Setidaknya, ada dua tujuan yang ingin dicacai dari
pendidikan anti korupsi ini. Pertama untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Tujuan kedua adalah, menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa.
Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Tidak hanya itu,
pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah satu bentuk korupsi, korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat. Materi ini dapat diikutkan dalam pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya.
Contoh lain, kebiasaan tidak mau repot ketika melakukan pelanggaran aturan lalu lintas. Ketika ditilang oleh polisi lalu lintas, banyak orang yang tanpa pikir panjang dan tidak mau repot untuk sidang di pengadilan. Sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada polisi untuk korupsi. Perbuatan ini banyak sekali ditemukan di jalan raya, dan cenderung menjadi lumrah. Sehingga memang diperlukan edukasi bahwa perbuatan suap tersebut, termasuk korupsi yang merugikan negara. Oleh karena itu, perlu pendidikan terpadu yang diselenggarakan di semua tingkatan institusi pendidikan.
Tahap Pelaksanaan
Kurikulum pendidikan anti korupsi ini disusun seperti kurikulum mata pelajaran yang lain dan diagendakan dalam kurikulum pendidikan nasional. Penyusunan kurikulum dimulai dari tujuan pembelajaran umum, khusus serta indikator dan hasil belajar apa saja yang ingin dicapai setelah memperoleh pendidikan anti korupsi ini. Ada dua pilihan untuk menerapkan pendidikan anti korupsi pada sekolah dan perguruan tinggi. Pertama, menambah satu mata pelajaran baru, pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah. Kedua, melakukan integrasi pendidikan anti korupsi kedalam salah satu mata pelajaran yang ada. Mata pelajaran yang dipilih adalah mata pelajaran sosial seperti Pendidikan Kewarganegaraan.
Pilihan pertama, menambahkan mata pelajaran baru tentang pendidikan anti korupsi dirasa kurang memungkinkan. Pada saat ini, siswa-siswa di sekolah telah dibebankan begitu banyak mata pelajaran. Ditambah lagi dengan pekerjaan rumah (PR) setiap mata pelajaran. Maka, tidak memungkinkan jika menambah mata pelajaran baru. Dikhawatirkan, hasilnya tidak akan maksimal dan hanya sebatas pengetahuan teori saja yang didapatkan oleh siswa. Sementara esensi dari pendidikan anti korupsi ini tidak didapatkan.
Untuk tahap awal,
pendidikan anti korupsi ini bisa disisipkan dalam bentuk satu pokok bahasan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Waktu yang dibutuhkan untuk satu pokok bahasan ini antara 8 sampai 9 jam. Atau sekitar 4 sampai 5 kali pertemuan.
Metoda pembelajaran yang digunakan dapat berupa ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus dan metoda lain yang dianggap akan membantu tercapainya tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Media yang dapat digunakan seperti tabel angka korupsi dan bahkan bisa digunakan media audiovisual seperti menonton video-video yang berhubungan dengan korupsi. Melakukan studi pustaka tentang negara-negara maju yang hidup tanpa korupsi. Teori yang dipelajari pada pendidikan anti korupsi tersebut dapat langsung dipraktekan dalam sebuah kegiatan nyata. Misalnya, nilai-nilai kejujuran yang menjadi aspek capaian utama dalam pendidikan anti korupsi dapat dipraktekan dengan membangun sebuah warung kejujuran di sekolah yang bersangkutan.
Warung kejujuran adalah sebuah warung yang dikelola oleh siswa, dimana tidak ada penunggu warungnya. Semua transaksi berjalan dengan swalayan dan kesadaran membayar berapa harga barang yang di beli. Tanpa ada yang mengawasi. Semua barang ditempeli label harga dan pembeli membayar dengan sadar ke dalam sebuah kotak terbuka berisi uang. Jika uang yang dimasukan ke kotak perlu kembalian, maka si pembeli mengambil kembaliannya sendiri. Semua transaksi berjalan tanpa pengawasan, hanya berbekal kejujuran. Warung ini akan melatih kejujuran, sebuah nilai kehidupan yang menjadi cikal bakal hidup terbebas dari korupsi.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.